Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi
meninggalkan mereka, mereka selalu menitiskan air mata. Di lisan mereka terucap
sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan
Ramadhan menghampiri diri mereka.
Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan,
hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak menghairankan pada malam-malam terakhir
Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan
orang-orang yang beri’tikaf. Dan semasa i’tikafnya, mereka terkadang menangis tergisak-gisak,
kerana Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.
Ada satu riwayat yang mengisahkan bahawa kesedihan ini tidak
saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah
lainnya.
Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir
Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para
malaikat, kerana akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini
merupakan musibah bagi umatku.”
Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu,
ya Rasulullah?”
“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala
kebajikan digandakan pahalanya, dan seksaan kubur terkecuali, maka apakah
musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menitis. Hati mereka sedih.
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menitis. Hati mereka sedih.
Mengapa tidak. Bulan yang penuh keberkatan dan keredhaan Allah
itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa
dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan
pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu iblis-iblis.
Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya
pembebasan dari api neraka.
Bulan ketika nafas-nafas orang yang berpuasa lebih harum di
sisi Allah daripada minyak kasturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya
membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah
menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan
Allah Ta’ala.
Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat
dari Ramadhan. Mereka sedih kerana khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima
dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka kerana mungkin mereka
tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul
Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian
telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat
selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon
kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”
Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.
Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari
ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram
durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut.
“Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk
mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku
diterima atau tidak.”
Adakah kita tergolong diantara golongan orang-orang yang
menangisi kepergiaan bulan Ramadan dan mendapat segala rahmat dari Allah S.W.T
di bulan yang mulia ini.
No comments:
Post a Comment